LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNIK KULTUR JARINGAN
“MEMBUAT MEDIA KULTUR”

OLEH :
NAMA :
PETRUS SIMATUPANG
NPM :
E1J009094
CO.ASS : RUTH SIREGAR
PRODI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Formulasi media kultur jaringan pertama kali dibuat
berdasarkan komposisi larutan yang digunakan untuk hidroponik, khususnya
komposisi unsur-unsur makronya.. Komposisis media dan perkembangan formulasinya
didasarkan pada jenis jaringan, organ dan tanaman yang digunakan serta
pendekatan dari masing-masing peneliti. Keberhasilan dalam penggunaan metode
kultur jaringan, sangat bergantung pada media yang digunakan. Media kultur
jaringan tanaman menyediakan tidak hanya unsur hara makro dan mikro,
tetapi sumber karbohidrat yang pada umumnya berupa gula menggantikan
karbon yang biasanya dihasilkan dari atmosfer melalui melalui proses
fotosintesis.
Hasil yang lebih baik
dapat dijangkau atau diperoleh, bila ke dalam media tersebut ditambahkan
vitamin-vitamin, asam amino solid dan zat pengatur tubuh. Walaupun sudah
diusahakan untuk menghindarkan penggunaan komponen-komponen yang tidak jelas
(komponennya) seperti juice buah-buahan dan tauge, air kelapa, yeast
exstracts dan casein hydrolysate, tetapi kadang-kadang kita bisa
memperoleh hasil yang lebih tinggi dengan penambahan tersebut. Sebagai contoh,
air kelapa masih sering digunakan di laboratorium-laboratorium penelitian,
sedangkan pisang masih merupakan komponen tambahan yang sangat popular pada
media anggrek.
Media kultur jaringan merupakan salah satu faktor yang
dapat menentukan tingkat keberhasilan paebanyakan tanaman secara invitro, dalam
hal ini adalah kultur jaringan. Berbagai formulasi atau komposisi media tanam
telah banyak ditemukan untuk mmengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan
tanaman yang dikulturkan.
Peranan media kultur berhubungan dengan penyediaan
unsure hara dan energi serta zat-zat lain yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
perkembangan bahan eksplan di dalam botol kultur sehingga sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan kultur jaringan Melihat peranan penting dari media
kultur, maka melaui praktikum ini dilakukan pembuatan media kultur secar baik
dan benar sesuai dengan prosedur yang ada.
1.2 Tujuan
R Agar mahasiswa mengetahui
dan terampil dalam membuat media kultur
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Media yang terlalu padat dapat mengakibatkan akar sukar
tumbuh, sebab akar-akar sulit untuk menembus ke dalam media. Sedangkan media
yang terlalu lembek akan menyebabkan kegagalan dalam pekerjaan. Kegagalan dapat
berupa tenggelamnya eksplan yang ditanam, terutama ekspaln yang berat seperti
eksplan wartel, melinjo, eksplan bawang putih, eksplan kedelai, dan lain
sebagainya. Pemakaian media cair lebih ditekankan pada suspensi sel, yaitu untuk
menumbuhkan plb (protocorm like bodies atau disebut juga protokormus).
Dari protokarmus ini nantinya dapat tumbuh menjadi planlet apabila dipindahkan
ke dala media padat yang sesuai (Hendaryono dan Wijayani, 2007).
Media invitro yang biasa digunakan biasa berupa media
padat sebab memiliki beberapa keuntungan antara lain penggunaan eksplan
terkecil akan lebih muda terlihat, eksplan berada di atas permukaan media
sehingga tidak perlu memerlukan alat Bantu untuk aerasi, tunas dan akar akn
lebih muda tumbuh pada media yang diam. Namun pada media cair juga terdapat
beberapa keuntungan yang tidak dimiliki pada media padat yaitu antara lain
tidak memerlukan tambahan bahan pemadat, tepat untuk proses kultur protoplasma
maupun kultur sel, eksudat yang dikeluarkan oleh eksplan tidak terakumulasi
disekitar eksplan, kontak ekslan dengan media lebih besar (George and
Sherington, 1984).
Dalam prosesnya, keberhasilan kultur jaringan selain
dikarenakan oleh kondisi lingkungan yang
terkendali juga ditentikan oleh media kultur. Media kultur merupakan salah satu
faktor penentu keberhasilan. Media kultur merupakan komponen faktor
lingkungan yang menyediakan unsure
pertumbuhan tanaman seperti unsure hara makro, unsure hara mikro, karbohidrat,
vitamin dan zat pengatur tumbuh, param-garam organic, persenyawaan komplek
alamiah, arang aktif dan bahan pemadat (George and Sherington, 1984).
Media kultur yang biasa digunakan adalah media dengan
formulasi Murashige and Skoog (MS). Media MS merupakan media dasar yang
mempunyai formulasi yang sangat lengkap. Komposisi media MS ini pada umumnya
dapat digunakan pada hampir semua jenis tanaman (Wattimena,1992).
Pada umumnya media kultur
jaringan dibedakan menjadi media dasar dan media perlakuan. Resep media dasar
adalah resep kombinasi zat yang mengandung hara esensial (makro dan mikro),
sumber energi dan vitamin. Dalam teknik kultur jaringan dikenal puluhan macam
media dasar. Penamaan resep media dasar pada umumnya diambil dari nama
penemunya atau peneliti yang menggunakan pertama kali dalam kultur khusus dan
memperoleh suatu hasil yang penting artinya. Beberapa
media dasar yang banyak digunakan antara lain:
1) Media dasar Murhasige dan skoog (1962)
yang dapat digunakan untuk hampir semua jenis kultur, terutama pada tanaman herbaceous.
2) Media Knop dapat juga digunakan untuk
menumbuhkan kalus wortel.
3) Media dasar B5 untuk kultur sel kedelai,
alfafa, dan legume lain.
4)
Media dasar White (1934) yang
sangat cocok untuk kultur akar tanaman tomat.
5) Media dasar Vacin dan Went yang biasa
digunakan untuk kultur jaringan anggrek.
6) Media dasar Nitsch dan Nitsch yang biasa
digunakan dalam kultur tepung sari (pollen) dan kultur sel.
7) Media dasar Schenk dan Hildebrandt (1972)
atau media SH yang cocok untuk kultur jaringan tanaman-tanaman monokotil.
8)
Medium khusus tanaman berkayu
atau Woody Plant Medium (WPM)
9)
Media N6 untuk serealia
terutama padi.
Unsur hara di dalam media kultur tersusun atas beberapa
komponen, sebagai berikut
2.
Hara mikro
selalu digunakan. Ada beberapa komposisi media yang hanya menggunakan besi atau
besi-kelat.
3.
Vitamin-vitamin dan asam-asam
amino serta N organik, umumnya ditambahkan dalam jumlah yang bervariasi.
Vitamin, asam amino dan bahan organic lain seperti myo inositol merupakan
komponen media yang berpengaruh baik terhadap pertumbuhan kultur. Kelompok
vitamin yang sering digunakan dalah dari golongan vitamin B yaitu Thiamin-HCL
(B1), Pyrodoxin-HCL (B6), ASAN Nikotinat dan Riboflavin (B2) (Nugroho, 1997).
4.
Sumber
energi dan karbon berupa gula, merupakan keharusan, kecuali
untuk tujuan yang sangat khusus. Konsentrasi optimum sukrosa tergantung dari jenis jaringan yang dikultur.
Pada kultur kalus dan pucuk, konsentrasi sukrosa yang digunakan adalah
antara 2-4 % yang merupakan konsentrasi optimum. Namun dalam kultur
embrio, konsentrasi gula dapat mencapai 12 %. Menurut Szweykowske, 1974 yang
dikutip oleh George & Sherrington (1984), pembelahan sel protonema Ceratodon
purpureus dipengaruhi oleh interaksi antara glukosa dan 2iP. Gula berfungsi ganda
di dalam media yaitu berfungsi sebagai sumber energi, dan sebagai penyeimbang
tekanan osmotik media. Menurut George & Sherrington (1984), 4/5 bagian dari
potensial osmotik dalam media White disebabkan oleh gula, sedangkan dalam media
MS hanya setengah dari potensial osmotiknya disebabkan adanya gula.
5. Persenwawaan-persenyawaan organic kompleks alamiah seperti: air
kelapa, ekstrak ragi (yeast extract), juice pisang hijau, tauge, nanas,
kentang dan sebagainya.
6.
Zat Pengatur
Tumbuh (ZPT): ada beberapa jenis, antara lain: auxin, sitokinin,
geberelin, asam absisat, etilin dan sebagainya. ZPT merupakan komponen penting dalam media kultur
jaringan. Jenis dan konsentrasi ZPT yang digunakan sangat tergantung pada jenis
taman dan tujuan dari kultur tersebut.
Salah satu komponen yang juga menentukan keberhasilan kultur
jaringan dalah jenis dan konsentrasi ZPT yang digunakan Jenis dan konsenyrasi
ZPT yang digunakan tergantung pada tujuan dan tahap pengkulturan. Pengakulturan
untuk merangsang pembentukan akar biasanya menggunakan ZPT Auksin. Jenis auksi
yang sering digunakan adalah IBA dan NAA. (Nugroho, 1997).
7.
Buffer (chelating
agent). Penambahan asam amino seringkali juga bersifat sebagai
buffer organik. Penambahan KH2PO4 sendiri tidak efektif
sebagai buffer. Banyak peneliti terdahulu seperti Tausson dan Kordan (George
& Sherringtone, 1984) menyarankan untuk menambahkan Fe SO4
dan Na-EDTA dalam media untuk bertindak sebagai buffer.
8.
Bahan
Pemadat. Bahan ini digunakan untuk membuat media padat, yang biasa
digunakan adalah agar. Keuntungan dari pemakain agar adalah :
R Agar membeku pada temperatur ≤ 45o
C dan mencair pada temperature 100o C, sehingga dalam kisaran
temperatur kultur, agar akan berada dalam keadaan beku yang stabil.
R Tidak dicerna oleh enzim yang dihasilkan oleh jaringan
tanaman.
R Tidak bereaksi dengan persenyawaan-persenyawaan penyusun media.
Dalam perbanyakan komersial dan percobaan-percobaan yang
tidak dimaksudkan untuk mempelajari metabolisme sel, penggunaan agar murni
bukan suatu keharusan mengingat harga agar murni sangat tinggi.
Bahan-bahan yang tidak diinginkan dari agar, dapat dihilangkan dengan cara
perendaman dalam aquadest selama 24 jam. Agar kemudian dibilas dengan
ethanol dan dikeringkan dalam oven pada 60o C selama 24 jam.
Konsentrasi agar yang diberikan berkisar antara 0.6-1.0 %. (Deberg,
(1982 dalam Gunawan 1988).
9.
Faktor penting lain adalah pH
yang harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu fungsi membran sel
dan pH dari sitoplasma. Pengaturan pH selain memperhatikan kepentingan
fisiologi sel, juga harus mempertimbangkan faktor-faktor :
1.
Kelarutan dari garam-garam penyusun media
2.
Pengambilan (uptake) dari zat pengatur tumbuh dan
garam-garam lain
3.
Efisiensi pembekuan agar.
Sel-sel tanaman membutuhkan pH yang sedikit asam
berkisar antara 5.5-5.8 (Gamborg dan Shyluk, 1981). Tanaman Ericaceae seperti Rhododendron
pengaturan pH, biasa dilakukan dengan menggunakan NaOH (atau kadang-kadang KOH)
atau HCl pada waktu semua komponen sudah dicampur, beberapa saat sebelum
disterilkan dengan autoklaf. Sekalipun media sudah ditetapkan, seringkali
setelah sterilisasi pH-nya berubah. Pada umumnya terdapat penurunan pH setelah
distrerilkan dalam autoklaf. Untuk mencapai pH sekitar 5.7-5.9, Nann dkk. (dalam
George dan Sherrington, 1984) membuat pH 7.0 dalam media yang belum
disterilkan. Untuk menghindarkan perubahan pH yang cukup besar. Murashige dan
Skoog menyarankan agar dilakukan pemanasan untuk melarutkan agar-agar
dan memanaskan media didalam autoklaf selama beberapa menit, baru diadakan
penetapan media disterilkan dalam autoklaf. Dalam wadah yang besar, media
disterlkan dan kemudian dititrasi dengan NaOH/HCl steril sampai pH yang
diinginkan. Setelah itu media dituang ke dalam wadah kultur steril yang telah
dipersiapkan di dalam laminar air flow cabinet.
10.
Arang aktif,
berfungsi untuk menyerap senyawa toxic yang dihasilkan oleh eksplan sebagai
anti oxidan juga sering digunakan untuk memacu pertumbuhan akar.
Penambahan arang aktif. Arang aktif 0.8-1 g/l
menghambat pembekuan agar (Horner et al (1977 dalam George
& Sherrington, 1984). Arang aktif atau charcoal adalah arang yang sudah
dipanaskan selama beberapa jam dengan menggunakan uap atau udara panas (George
& Sherrington, 1984). Bahan ini mempunyai sifat adsorpsi yang sangat kuat.
Arang aktif dapat ditambahkan ke dalam media pada berbagai tahap perkembangan
kultur. Bahan ini dapat ditambahkan pada media inisiasi, media regenerasi, atau
media perakaran. Penambahan arang aktif dapat membantu pertumbuhan perkembangan
kultur, tergantung dari jenis kulturnya. Secara umum, pengaruh arang aktif
adalah sebagai berikut:
a)
Mengadsorpsi
persenyawaan-persenyawaan toxic yang terdapat dalam media yang dapat menghambat
pertumbuhan kultur, seperti persenyawaan-persenyawaan fenolik dari jaringan
yang terluka waktu inisiasi, dan persenyawaan 5-hidroksimetil furfural yang
diduga terbentuk dari gula yang berada dalam larutan asam lemah dan mengalami
pemanasan dengan tekanan tinggi (Nitsch et al, 1968 dalam Gunawan
1988).
b)
Mengadsorpsi zat pengatur
tumbuh sehingga mencegah pertumbuhan kalus yang tidak diinginkan, seperti dalam
androgenesis dan pucuk yang ingin diakarkan, dan juga membantu embryogenesis
kultur dalam media regenerasi tanpa auksin, mungkin dengan bertindak sebagai sink
yang menarik auksin dari dalam sel sehingga embryogenesis dapat terjadi
(Drew, 1979 dalam George & Sherringtone, 1984).
c)
Merangsang perakaran dengan
mengurangi tingkat cahaya yang sampai ke bagian eksplan yang terdapat dalam
media.
BAB III
METODOLOGI
3.1 Bahan dan Alat
1. Stok media MS untuk 1 liter 8. Alumunium foil 1
gulung
2. Sukrosa 20 g 9.
Agar 8 g
3. Thyamin-HCL 0.5 g 10.
Aquades 2L
4. Piridoxin-HCL 0.5 g 11.
Larutan HCL
5. Myo inositol 2 g 12.
Larutan NAOH
6. ZPT Auksin 0.5 g 13.
Tissue gulung 1 gulung
7. Sitokinin 0.5 g
3.2 Cara Kerja
1)
Menyediakan Beacker glass
volume 500 ml sebanyak 2 buah, volume 1500 ml sebanyak 1 buah dan labu ukur
volume 1 liter 1 buah.
2)
Menyediakan aquades sebanyak 2
Liter.
3)
Menimbang sukrosa sebanyak 20 g
4)
Menimbang agar sebanyak 8 g
5)
Menyiapkan pipet hisap 0.5 ml
sebanyak 1 buah
6)
Menyiapkan pipet hisap 5 ml
sebanyak 1 buah
7)
Menyiapkan bola hisap 2 buah
8)
Menyiapkan kertas tissue gulung
2 buah
9)
Menyiapkan alumunium foi 1 gulung,
lalu dilakukan pengguntingan berbentuk bujur sangkar sesuai dengan ukuran botol
kultur
10)
Menderetkan stok media
berdasarkan urutan (A, B, C, D, E, F, G), proses penambahan ZPT dibantu oleh
co-asisten
11)
Memipet stok media dengan pipet
hisap yang dmulai dari stok A, B, dst sesuai dengan kepekatan yang dibuat,
memasukkan larutan stok tersebut ke dalam beacker glass yang telah disediakan
(setiap kai memindahkan larutan stok, pipet dicuci dengan aquades dan
dikeringkan dengan menggunakan tissue)
12)
Melakukan pekerjaan pada point
11, sehingga semua larutan stok terambil. Untuk penambahan ZPT dibantu oleh
co-asisten
13)
Menambahkan aquades 600 ml
setelah semua selesai pada beacker glass yang telah memuat semua bahan nutrisi,
kemudian melakukan pengadukan dengan menggunakan magnetic stearer hingga larut.
Menambahkan sukrosa sambil terus diaduk . Untuk mempercepat kelarutan sukrosa
maka dilakukan penambahan aquades hingga volume larutan mencapai 800 ml. Jika
larutan sudah benar-benar homogen maka dilakukan pemindahan larutab ke dalam
labu ukur volume 1 liter., Selanjutnya tepatkan volumenya hingga tepat 1 liter
dengan menambahkan aquades secara perlahan-lahan.
14)
Memindahkan larutan media dari
labu ukur ke dalam beacker glass volume 1500 ml. kemudian menetapkan ph dengan
kisara 5.8-6.0 dengan menambahkan HCL atau NAOH, selanjutnya memanaskan dengan
menggunakan hot plate magnetic stearer sambil dilakukan penambhan agar
15)
Menjelang titik didih tercapai
(Larutan berwarna bening dengan sedikit gelembung) pemanasan dihentikan.
16)
Memindahkan larutan media ke
dalam botol kultur dengan menggunakan dispenser sesuai denhan volume yang
dibutuhkan, selanjutnya menutup botol kultur dengan alumunium foil.
17)
Melakukan sterilisasi media di
dalam botol kultur dengan menggunakan autoclave pada suhu 121 derjat celcius
selam 15 menit
18)
Memindahkan botol kultur ke
dalam ruang transfer, setelah 1 minggu media kultur dapat digunakan untuk
penanaman.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Pegamatan
Larutan
Stok
|
Kebutuhan
untuk Media MS
|
A
|
20
ml
|
B
|
20
ml
|
C
|
10
ml
|
D
|
10
ml
|
E
|
5
ml
|
F
|
2
ml
|
G
|
10
ml
|
H
|
1
ml
|
Myo
Inositol
|
10
ml
|
NAA
|
3
ppm
|
BAP
|
5
ppm
|
Agar
|
7
g
|
- Media kultur yang digunakan adalah MS
- Jumlah botol kultur 40 buah
- Waktu sterilisasi dengan meggunakan autoclave yaitu 20 menit pada suhu 1210C dan tekanan 15 psi.
4.2
Pembahasan
Keberhasilan
dalam penggunaan metode kultur jaringan, sangat bergantung pada media yang
digunakan. Media kultur merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan. Media
kultur merupakan komponen faktor lingkungan
yang menyediakan unsure pertumbuhan tanaman seperti unsure hara makro,
unsure hara mikro, karbohidrat, vitamin dan zat pengatur tumbuh, param-garam
organic, persenyawaan komplek alamiah, arang aktif dan bahan pemadat. Pada
parakikum ini media kultur yang dibuat yaitu dalam bentuk padat dengan formulsi
Murashige dan Skoog.
Pembuatan media kultur dilakukan dengan cara memipet
larutan stok yang sebelumnya sudah dibuat dan disimpan di lemari pendingin.
Larutan stok tersebut dipipet sesuai dengan hasil pencarian (pada 4.2
Perhitungan) dengan menggunakan rumus pengenceran kemudian diencerkan (yang
sebelumnya terlebih dahulu telah dideretkan di atas meja secara berurutan mulai
dari larutan stok A-H) ke dalam gelas piala berukuran 1L. Pemipetan dilakukan
secara berurutan untuk menghindari terjadi reaksi kimia antar larutan yang
dapat menyebabkan penurunan atau degradasi maupun reaksi penggaraman yang akan
berakibat pada ketidaktersediaa unsur tumbuh untuk petumbuhan eksplan.
Konsentrasi larutan yang digunakan sesuai dengan konsentrasi pada formulasi
media MS. Larutan yang telah berada didalam beacker gelas kemudian diencerkan
dengan ditambah air sebanyak 800 ml dulu dan sukrosa sebanyak 20 g. Gula berfungsi ganda di dalam media yaitu
berfungsi sebagai sumber energi, dan sebagai penyeimbang tekanan osmotik media.
Kemudian dipanaskan dengan menggunakan hot plate
magnetic stearer. Hal tersebut dilakukan supaya sukrosa cepat larut. Setelah
sukrosa larut kemudian larutan tersebut baru ditambahkan air sampai volumenya
menjadi 1 L, pemanasan tetap terus dilakukan. Kemudian kita mengukur pH larutan
menggunakan pH meter. pH larutan yang dianjurkan adalah berkisar anatara
5,8-6,0. Apabila pH larutan di bawah 5,8 maka dilakukan penambahan NaOH setetes
demi setetes sampai pH naik sekitar 5.8. Apabila pH di atas 6.0 maka dilakukan
penambahan KCl setetes demi setetes sampai pH turun pada kisaran tersebut.
Sel-sel tanaman membutuhkan pH yang sedikit asam berkisar antara 5.5-5.8.
Sekalipun media sudah ditetapkan, seringkali setelah sterilisasi pH-nya
berubah.
Untuk menghindarkan perubahan pH yang cukup besar Murashige
dan Skoog menyarankan agar dilakukan pemanasan untuk melarutkan agar-agar
dan memanaskan media didalam autoklaf selama beberapa menit, baru diadakan
penetapan media disterilkan dalam autoklaf. Dalam wadah yang besar, media
disterlikan dan kemudian dititrasi dengan NaOH/HCl steril sampai pH yang
diinginkan. Setelah itu media dituang ke dalam wadah kultur steril yang telah
dipersiapkan di dalam laminar air flow cabinet.
Pada praktikum yang kami lakukan penambahan NaOH pada
larutan sebab pH larutan berda di bawah kisaran pH yang dianjurkan yaitu
sebesar 5,6 karena bahan pembuat medianya kebanyakan golongan asam. Kemudian
dilakukan pengukuran pH dan ditetapkan sampai 5.8. Pengaturan pH dilkukan untuk
menjamin ketersediaan unsure hara bagi eksplan di dalam botol kultur. Setelah
ditambahkan NaOH pH menjadi 5.8, maka setelah itu baru dimasukan agar. Karena
pada praktikum ini, media yang digunakan adalah media padat maka diperlukan
bahan pemadat berupa agar. Agar yang diberikan yaitu sebesar 7 gram dimasukkan
kedalam larutan penyusun media dan dipanaskan. Pengukuran pH tidak lagi
dilakukan karena apabila larutan media yang telah ditambahkan agar diukur
pH-nya maka akan merusak pH-meter. Konsentrasi agar yang terlalu tinggi
dapat mengurangi difusi persenyawaan dari dan ke arah eksplan sehingga
pengambilan hara dan zat tumbuh berkurang, sedangkan zat penghambat dari
eksplan tetap berkumpul di sekitar eksplan. Setelah mencapai titik didih yang
ditandai dengan larutan berwarna bening dan terdapat gelembung maka larutan
dituangkan ke dalam botol-botol kultur sebanyak 70 buah sesuai dengan jumlah
dibutuhkan. Kemudian botol ditutup dengan alumunium foil dan dilakukan
sterilisasi basah dengan menggunakan autoclave selam 20 menit pada suhu 1210C
dan pada tekanan 15 psi. Setelah itu botol-botol kultur diletakan di dalam
ruang kulur pada rak-rak yang telah tersedia.
BAB V
PENUTUP
6.1 KESIMPULAN
·
Dari hasil pengamatan pada
praktikum dapat disimpulkan bahwa keberhasilan dalam penggunaan metode kultur
jaringan, sangat bergantung pada media yang digunakan. Media kultur merupakan
salah satu faktor penentu keberhasilan. Media kultur merupakan komponen faktor
lingkungan yang menyediakan unsure
pertumbuhan tanaman seperti unsure hara makro, unsure hara mikro, karbohidrat,
vitamin dan zat pengatur tumbuh, param-garam organic, persenyawaan komplek
alamiah, arang aktif dan bahan pemadat.
·
Apabila larutan media pH-nya
rendah kurang dari 5.8 maka ditambah NaOh, dan apabila pH nya lebih dari 6.0
maka ditambahkan KCl.
·
Pada parakikum ini, media
kultur yang dibuat yaitu dalam bentuk padat dengan formulsi Murashige dan Skoog
(MS)
·
Dalam proses pembuatan media
kultur harus benar-benar diperhatikan tingkat sterilitas dan kebutuhan atau
jumlah komponen penyusun media kultur.
DAFTAR PUSTAKA
Drew, R., M. Smith, J. Moisander & J. James,
1991. Plant tissue culture general principles and commercial applications.
Queensland Department of Primary Industries. Brisbane. 31 p.
George, E.F. & P.D. Sherrington. 1984 Plant
propagation by tissue culture. Handbook and directory of commercial
laboratories. Exegetics Ltd., Basingstoke, England. 546 p.
Gunawan, L.W., 1988. Teknik kultur jaringan tumbuhan.
Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan, Pusat Antar Universitas (PAU), Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 304 h.
Hendaryono dan Ir Ari Wijayani, 2007. Teknik Kultur
Jaringan. Kanisius, Yogyakarta.
Marlin, dkk. 2012. Penuntun Praktikum Kultur Jaringan. Fakultas
Pertanian Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Nugroho, A dan H. Sugianto. 1997. Pedoman Pelaksanaan
Tehnik Kultur Jaringan. Penebar Swadaya, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar